Selamat datang di blog saya!

Blog ini lahir dari keinginan untuk menyebar-luaskan ide dan pemikiran-pemikiran mengenai upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menuju Indonesia yang lebih baik di bidang ekonomi, khususnya di bidang PERBANKAN dan PROPERTI. Blog ini terutama berisi posting artikel dan kolom-kolom saya yang sebelumnya pernah dipublikasikan di koran atau majalah termasuk beberapa kutipan wawancara saya dengan media masa cetak dan on line. Beberapa artikel yang di-posting di sini, adalah artikel berbahasa Inggris sesuai dengan versi aslinya. Selamat mengakses dan membaca!!!

Kamis, 01 Mei 2008

Pemberlakuan SPP dan Misi Ganda Bank BUMN

Oleh: Sasmaya Tuhuleley

Indonesia setelah berakhir era orde baru, memang berbeda. Indonesia pada era reformasi saat ini menjadi jauh lebih demokratis. Demokratisasi yang terjadi bukan hanya di bidang politik, tetapi juga ekonomi. Kebijkan-kebijakan di bidang ekonomi, terutama yang menyangkut sektor publik saat ini menjadi jauh lebih transparan dibanding sebelumnya.
Berita baiknya, dengan adanya keterbukaan dalam pengambilan kebijakan yang bersifat publik, masyarakat dapat dilibatkan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan suatu kebijakan. Dengan demikian, dapat dihindari pengambilan kebijakan yang merugikan negara dan rakyat banyak. Berita buruknya, pengambilan kebijakan itu sendiri menjadi bertele-tele, karena harus melalui debat publik yang melelahkan. Untuk itu, harus ada pemisahan yang jelas, mana kebijakan kebijakan yang murni ekonomi dan mana yang mengandung unsur publik. Ketidak jelasan keduanya hanya akan menimbulkan kontroversi yang dapat menghambat kemajuan pembangunan ekonomi.
Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Precence Policy (SPP) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), adalah contoh sebuah kebijakan yang pada akhirnya menjadi kontroversi yang merugikan karena mengabaikan hal itu. SPP yang pada dasarnya dibuat untuk mempercepat konsolidasi perbankan dan seharusnya murni ekonomi, tidak membuat pengecualian terhadap bank-bank BUMN.
Padahal selama ini diakui atau tidak, bank-bank BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya memiliki misi ganda. Sebagai entitas bisnis, bank-bank BUMN harus bisa menghasilkan keuntungan untuk kepentingan shareholders. Sementara sebagai bank yang dimiliki negara dan rakyat, bank-bank BUMN sekaligus juga harus dapat berperan sebagai agen pembangunan yang mampu membantu mensejahterakan kehidupan rakyat banyak.
Misi yang terakhir ini yang lupa dipertimbangkan BI pada saat menetapkan SPP. Bank-bank BUMN dianggap sama dengan bank-bank swasta nasional atau asing yang memang tidak diberi misi atau tugas khusus oleh Pemerintah. Sebagai contoh, beberapa bank BUMN, seperti Bank BRI sekarang ini deberi tugas membiayai sektor UNKM dan Bank BTN diberi tugas membiayai perumahan rakyat. Tentunya, tugas-tugas tersebut tidak mungkin diberikan kepada bank-bank umum swasta nasional maupun asing.
Karena memiliki misi atau tugas khusus tersebut, kehadiran bank-bank BUMN mempunyai arti yang berbeda dengan bank-bank umum swasta nasional dan asing. Oleh sebab itu kebijkan yang diambil, apabila menyangkut bank-bank BUMN tidak betul-betul murni ekonomi. Kepentingan publik atau rakyat banyak juga harus dipertimbangkan pada saat kebijakan dibuat, karena jika tidak bisa-bisa rakyat yang akan dirugikan.

Sekarang ini nasi sudah menjadi bubur, karena SPP yang terlanjur keluarkan, batas akhir penyampaian rencana aksinya tinggal beberapa bulan lagi. Sementara itu, berbagai perdebatan, khususnya yang menyangkut pemberlakuan SPP kepada bank-bank BUMN masih terus berlangsung. Dikhawatirkan, karena tingkat kontroversinya yang begitu besar, SPP tidak bisa dilaksanakan. Pada hal SPP itu sendiri bukan kebijakan yang buruk, karena untuk memperkuat struktur industri perbankan nasional, jumlah bank yang begitu banyak saat ini harus segera dikurangi.
Melalui SPP, bank-bank yang kepemilikannya sama kemungkinan akan merger satu sama lain, sehingga jumlah bank ada juga otomatis akan berkurang. Di samping itu, dengan kepemilikan tunggal, di mana satu pemilik hanya diizinkan memiliki saham pengendali atas `satu bank, maka akan memudahkan BI dalam melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang ada.
Lalu apa yang dapat dilakukan BI? Memang tidak mudah, tapi pilihan alternatif-alternatif berikut ini mungkin bisa dipertimbangkan:
Pertama, BI dapat menunda pemberlakuan SPP untuk waktu yang tidak terbatas. Dengan penundaan tersebut, diharapkan para pemilik bank akan secara suka rela memilih aksi korporasi (corporate action) yang paling diinginkan, apakah akan melepaskan atau mengurangi kepemilikannya pada salah satu atau lebih bank di mana pemilik tersebut memiliki saham pengendali ataupun melakukan merger, sehingga si pemilik kemudian hanya memiliki saham pengendali atas satu bank. Konsukuensinya, kemungkinan tidak akan ada pemilik bank yang bersedia secara suka rela melaksanakan ketentuan SPP, sehingga konsolidasasi perbankan yang diharapkan menjadi gagal.
Kedua, memberlakukan SPP sesuai tenggat waktu yang ditetapkan, dengan pengecualian terhadap bank-bank BUMN. Pilihan ini masuk akal, mengingat misi ganda yang harus dijalankan bank-bank BUMN sebagai entitas bisnis sekaligus agen pembangunan, sehingga kebijakan yang menyangkut bank-bank BUMN bukan kebijakan murni ekonomi tapi ada unsur publiknya, sehingga harus dibedakan. Konsukuensinya, pemilik bank-bank umum swasta nasional akan menolak melaksanakan kebijakan tersebut, karena merasa diperlakukan tidak adil atas suatu kebijakan yang semula berlaku untuk semua pemilik bank, kemudia dibuat pengecualian.
Ketiga, memberlakukan SPP kepada semua pemilik bank tanpa kecuali, baik bank-bank umum swasta nasional maupun BUMN. Dari alternatif ini ada (2) dua opsi yang bisa dipilih terutama bagi bank-bank BUMN, yaitu:
1) Opsi merger bagi bank-bank BUMN. Hanya saja, jika opsi ini diberlakukan, maka tidak akan ada lagi misi khusus yang bisa dibebankan kepada bank-bank BUMN tertentu. Konsukuensinya, perdebatan dan kontroversi di masyarakat akan terus terjadi, mengingat ada kepentingan rakyat yang dikorbankan. Mengingat kondisi Indonesia yang masih dalam proses pemulihan ekonomi dan kebutuhan pembiayaan bagi sektor-sektor tertentu yang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanismen pasar, maka opsi ini kemungkinan akan sulit diterima masyarakat dan Pemerintah.
2) Opsi pembentukan holding bank BUMN. Opsi ini kelihatannya paling masuk akal, karena dengan adanya sebuah Bank BUMN Holding yang memiliki 4 (4) bank BUMN sebagai subsidiary, maka masing-masing bank BUMN masih dapat melaksanakan kegiatan binisnya seperti biasa, termasuk melaksanakan tugas khusus untuk membiayai sektor-sektor ekonomi tertentu yang dibebankan Pemerintah. Hanya saja, opsi ini masih memiliki sedikit kelemahan, yaitu pembentukan holding tersebut tidak dapat menghasilkan tingkat efesiensi seperti yang diharapkan dibanding opsi merger.

Alternatif-alternatif tersebut di atas, mungkin semuanya sulit untuk dipilih BI, karena masing-masing memiliki konsukuensi yang kurang menguntungkan. Akan tetapi harus diingat, bahwa saat ini BI tidak memiliki banyak pilihan alternatif menyangkut pemberlakukan SPP. Ketiga alternatif tersebut, mungkin merupakan alternatif terbaik saat ini yang bisa dipertimbangkan BI.
Dari ketiga alternatif tersebut, mengingat kewibawaan BI sebagai otoritas perbankan harus tetap terjaga, maka pilihan alternatif yang paling masuk akal, adalah alternatif ketiga, yaitu memberlakukan SPP kepada semua bank tanpa kecuali. Pilihan alternatif ini juga merupakan pilihan alternatif yang saat ini diterima masyarakat.
Khusus mengenai opsi yang tersedia bagi bank-bank BUMN, BI sebaiknya menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah sebagai pemegang saham: apakah akan memilih opsi merger atau pembentukan Bank BUMN Holding. Pemerintah pasti akan mempertimbangkan dengan sangat cermat dan hati-hati mengenai untung ruginya masing-masing opsi. Yang jelas, Pemerintah tidak akan serampangan dalam mengambil keputusan. Apalagi keputusan yang mengabaikan kaidah-kaidah baku yang berlaku, yaitu melalui kajian ilmiah oleh pihak yang memahami benar mengenai anatomi bank-bank BUMN.

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: