Oleh : Sasmaya Tuhuleley
Baru-baru ini, Fakultas Hukum Universitas Trisakti menyelenggarakan seminar nasional bertajuk secondary mortgage facility (SMF) atau pembiayaan sekunder perumahan yang diikuti oleh kalangan akademisi, perbankan dan profesi lain, seperti notaris dan appraisal. Sebagai salah satu pembicara dalam seminar tersebut, penulis mendapat kesan kuat, kalau selama ini masyarakat kurang terinformasi dengan baik mengenai pentingnya lembaga yang satu ini. Kesan tersebut mungkin ada benarnya, mengingat minimnya liputan media menyangkut kehadiran PP 19/2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan yang telah lama dinanti-nantikan itu.
Pertanyaan pembiayaan sekunder perumahan untuk siapa, sebagaimana judul artikel ini, adalah merupakan sebuah ironi. Mengapa? Karena selama ini masih banyak orang berpikir kalau kehadiran lembaga pembiayaan sekunder perumahan hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, seperti pengembang dan perbankan, bukan untuk kepentingan rakyat banyak.
Sejujurnya saja, selama hampir 60 tahun merdeka, pembangunan perumahan di Indonesia masih berjalan di tempat. Pada hal sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, kebutuhan perumahan di Indonesia juga sangat besar. Menurut perkiraan, saat ini kebutuhan perumahan di Indonesia dalam 10 tahun ke depan, adalah sekitar 2,9 juta unit per tahun, di mana sekitar 900 unit merupakan kebutuhan di daerah perkotaan. Sementara itu, total pasokan rumah setiap tahunnya hanya sekitar 400 unit atau masih terdapat defisit sekitar 2,5 juta unit per tahun.
Dengan defisit yang sedemikian besar, tentu saja diperlukan upaya-upaya yang luar biasa untuk mengatasinya. Upaya yang selama ini dilakukan pemerintah, misalnya melalui program KPR bersubsidi dianggap belum cukup memadai. Sebagai contoh, dengan program subsidi rumah sederhana sehat (RSH) yang ditargetkan pemerintah tahun 2004 sebanyak 200.000 unit, hanya bisa direalisasikan sekitar 70.000 unit rumah saja.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan mengapa program pembangunan perumahan di Indonesia tidak bisa berjalan baik, adalah karena kemampuan atau daya jangkau masyarakat untuk memiliki atau membeli rumah yang masih sangat rendah. Untuk itu, satu-satunya cara yang paling efektif dilakukan, adalah dengan meningkatkan daya jangkau masyarakat melalui penciptaan pasar perumahan yang efisien.
Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menciptakan pasar perumahan yang efisien, yaitu : pertama, dengan berupaya menurunkan biaya pembangunan perumahan, sehingga harga rumah menjadi lebih murah ; serta kedua, dengan memperluas akses masyarakat untuk memperoleh KPR.
Untuk menurunkan harga rumah, pemerintah perlu segera menghilangkan red tape dengan memangkas rantai birokrasi serta memberantas praktek-praktek KKN, terutama di instansi-instansi pemerintahan yang selama ini berwenang mengeluarkan perijinan di bidang pembangunan perumahan untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi.
Adapun untuk memperluas akses masyarakat dalam memperoleh KPR, pemerintah perlu membangun sistem pembiayaan perumahan yang mampu menjamin ketersediaan KPR dengan biaya yang murah dan terjangkau. Caranya, seperti yang disinggung sebelumnya, adalah dengan mengintegrasikan pasar pembiayaan perumahan dengan pasar modal melalui pembentukan lembaga pembiayaan sekunder perumahan.
PP 19/2005
Masyarakat selama ini hanya tahu, bahwa untuk membeli rumah mereka perlu pergi ke bank dan mengajukan aplikasi atau permohanan fasilitas KPR. Yang tidak diketahui masyarakat, adalah dari mana bank memperoleh pendanaan untuk membiayai KPR yang mereka mohon, serta apa saja permasalahan yang sedang dihadapi bank.
Untuk menyalurkan KPR, bank selama ini hanya mengandalkan dana masyarakat, baik berupa giro, tabungan, maupun deposito. Permasalahannya, KPR adalah kredit berjangka panjang, dengan jangka waktu antara 5-20 tahun, sedangkan simpanan masyarakat yang ada di bank berupa giro, tabungan dan deposito merupakan dana berjangka pendek, yaitu kurang dari 2 tahun. Salah satu prinsip dalam ilmu manajemen aset dan utang atau asset liabilities management (ALMA) bank, adalah bank tidak boleh meminjam jangka pendek (borrow short) dan meminjamkan jangka panjang (lending long), karena akan menghadapi resiko maturity mismatch.
Namun demikian, bank tidak punya pilihan lain, karena bank tidak memiliki akses untuk memperoleh pendanaan jangka panjang. Untuk mengurangi resiko maturity mismatch tersebut, bank dengan terpaksa harus membatasi portofolio KPR yang dimilikinya serta mengenakan suku bunga yang lebih tinggi kepada masyarakat. Akibatnya, akses masyarakat untuk memperoleh KPR dengan biaya terjangkau menjadi sangat terbatas.
Melalui lembaga pembiayaan sekunder perumahan, bank dapat mengakses dana-dana yang ada di pasar modal, seperti dana-dana pensiun dan asuransi, karena adanya integrasi antara pasar pembiayaan perumahan dengan pasar modal. Di banyak negara, integrasi antara pasar pembiayaan perumahan dengan pasar modal telah terbukti mampu mendongkrak pertumbuhan sektor perumahan dengan cepat.
Dengan dikeluarkannya PP 19/2005 yang menjadi landasan pembentukan lembaga atau perusahaan pembiayaan sekunder perumahan di Indonesia, berarti tinggal selangkah lagi kita akan memiliki sistim pembiayaan perumahan yang lebih maju dan sejajar dengan negara-negara lain. Dengan adanya lembaga tersebut, bank dan juga lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti mortgage broker dan mortgage company yang berpeluang muncul menyaingi bank dalam menyalurkan KPR kepada masyarakat, tidak perlu lagi memikirkan pendanaan KPR
Pendanaan KPR dapat diperoleh dari investor pasar modal yang membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan dengan jaminan kumpulan aset atau piutang KPR yang dibeli dari bank sebagai agunan. Mengingat dana yang dimiliki investor, baik investor di dalam negeri maupun luar negeri sangat luar biasa besar, maka potensi pendanaan KPR melalui pasar modal juga amat luar biasa besarnya.
Dengan APBN yang terbatas, pemerintah memang mengalami kesulitan untuk memberikan subsidi kepada rakyat. Kenaikan harga BBM belum lama ini menjadi salah satu contoh bagaimana pemerintah berusaha menekan defisit APBN yang tentu saja akan semakin memberatkan pundi-pundi keuangan pemerintah, jika subsidi BBM tidak segera dikurangi, sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Subsidi untuk bidang perumahan sendiri telah dirubah sejak beberapa tahun lalu dari sistim pinjaman dana murah menjadi subsidi selisih bunga. Dengan sistim subsidi selisih bunga pemerintah tidak perlu menyediakan dana yang besar, dibanding dengan subsidi pinjaman dana murah, sehingga tidak memberatkan APBN.
Hanya saja sebagai akibat dari perubahan tersebut, bank harus mencari sendiri pendanaan KPR di pasar yang tentu saja tidak mudah. Karena itu, banyak bank yang enggan menyalurkan KPR bersubsidi. Jika keadaan ini dibiarkan terus akan sulit bagi pemerintah untuk mewujudkan program sejuta rumah yang telah dicanangkannya. Yang rugi, tentu saja rakyat yang belum memiliki rumah.
Dengan adanya pembiayaan sekunder perumahan yang menyediakan dana murah yang berasal dari investor pasar modal serta dorongan melakukan efisiensi pasar primer untuk menurunkan harga jual rumah, maka pemerintah tidak perlu lagi menyediakan subsidi seperti sekarang ini. Anggaran subsidi perumahan yang ada kelak dapat dialokasikan untuk mereka yang benar-benar miskin. Misalnya, dengan membangun rumah-rumah susun sewa atau rumah penampungan bagi kaum tunawisma.
Mereka yang bukan rakyat miskin dan tergolong agak mampu dapat mengakses langsung KPR dari bank dan lembaga-lembaga keuangan lain. Dengan harga rumah yang semakin murah dan suku bunga KPR yang lebih terjangkau, walaupun tanpa subsidi dari pemerintah, maka jumlah mereka yang eligible atau memenuhi syarat untuk memperoleh KPR juga semakin bertambah. Dampaknya, akan semakin banyak rakyat Indonesia yang bisa memiliki rumah, sehingga program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah bukan lagi sekedar jargon politik belaka.
Pembiayaan sekunder perumahan untuk siapa? Tentu saja untuk rakyat, terutama jutaan rakyat kecil yang sampai saat ini masih belum memiliki rumah atau tinggal di rumah-rumah yang tidak layak huni. Jadi, mari kita sambut kehadirannya.
Catatan: Artikel ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia
Minggu, 04 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar