Kapanlagi.com - Perlunya dipersiapkan standarisasi persetujuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk memudahkan proses sekuritisasi, dengan akan diwujudkannya Secondary Mortgage Facility (Pembiayaan Sekunder Perumahan, PSP) dalam waktu dekat ini.
"Standarisasi diperlukan, mengingat format dan klausul perjanjian KPR masing-masing bank saat ini tidak sama (tidak standar), sehingga dalam penerapannya akan menyulitkan," kata pemerhati pembiayaan perumahan, Sasmaya Tuhuleley dalam Orientasi Wartawan Properti dan Konstruksi di Cisarua, Bogor, pekan ini.
Bahkan terkadang antara petugas kredit (credit officer) dalam satu bank tidak memiliki proses analisa dan persetujuan yang seragam. Bahkan, banyak bank yang belum menggunakan sistem penilaian (credit scoring model) untuk melakukan persetujuan dan analisa KPR.
Disamping itu, kemampuan perbankan dalam menyediakan data dan informasi terkini dan akurat melalui sistem informasi yang dimilikinya juga masih harus dikaji kembali. Ada kekuatiran MIS bank-bank belum mampu menyediakan data KPR secara cepat dan akurat.
Kesulitan mungkin akan dialami bank-bank jika diharuskan menyediakan informasi yang lebih rinci yang menyangkut rasio income dan harga (price to income ratio, PTI), serta rasio income terhadap kredit (loan to income ratio, LTI).
Bahkan untuk kecepatan proses analisa dan persetujuan kredit rata-rata perbankan nasional membutuhkan waktu 1-2 minggu, sementara di negara-negara maju bisa dilakukan kurang dari satu hari. Hal ini karena di negara-negara tersebut telah menggunakan sistem komputer (paperless), sedangkan di Indonesia masih manual.
Sasmaya mengkhawatirkan, apabila masalah internal perbankan belum dapat diatasi sampai dengan dioperasikannya SMF, dikhawatirkan perbankan tidak dapat memanfaatkan secara maksimal kehadiran SMF. Padahal dengan adanya SMF diharapkan bank dapat terus memproduksi KPR.
Bagi masyarakat dengan keterbatasan bank meningkatkan kapasitas produk KPR akan membuat akses mendapatkan KPR dengan biaya murah serta terjangkau semakin sulit. Kondisi demikian juga akan menyulitkan pemerintah untuk memenuhi target membangun rumah bagi masyarakat, kata Sasmaya.
Di negara maju seperti Amerika Serikat sektor perumahan memberikan kontribusi besar bagi ekonominya mencapai 8 persen terhadap PDB, sementara di Indonesia peran tersebut masih 1,4% saja. Sementara di negara maju sekalipun jarang membeli rumah secara tunai, sehingga peran perbankan memang sangat diandalkan dalam pertumbuhan perumahan. (*/bun)
Catatan: wawancara ini dilakukan ketika saya menjadi pembicara di sebuah seminar
"Standarisasi diperlukan, mengingat format dan klausul perjanjian KPR masing-masing bank saat ini tidak sama (tidak standar), sehingga dalam penerapannya akan menyulitkan," kata pemerhati pembiayaan perumahan, Sasmaya Tuhuleley dalam Orientasi Wartawan Properti dan Konstruksi di Cisarua, Bogor, pekan ini.
Bahkan terkadang antara petugas kredit (credit officer) dalam satu bank tidak memiliki proses analisa dan persetujuan yang seragam. Bahkan, banyak bank yang belum menggunakan sistem penilaian (credit scoring model) untuk melakukan persetujuan dan analisa KPR.
Disamping itu, kemampuan perbankan dalam menyediakan data dan informasi terkini dan akurat melalui sistem informasi yang dimilikinya juga masih harus dikaji kembali. Ada kekuatiran MIS bank-bank belum mampu menyediakan data KPR secara cepat dan akurat.
Kesulitan mungkin akan dialami bank-bank jika diharuskan menyediakan informasi yang lebih rinci yang menyangkut rasio income dan harga (price to income ratio, PTI), serta rasio income terhadap kredit (loan to income ratio, LTI).
Bahkan untuk kecepatan proses analisa dan persetujuan kredit rata-rata perbankan nasional membutuhkan waktu 1-2 minggu, sementara di negara-negara maju bisa dilakukan kurang dari satu hari. Hal ini karena di negara-negara tersebut telah menggunakan sistem komputer (paperless), sedangkan di Indonesia masih manual.
Sasmaya mengkhawatirkan, apabila masalah internal perbankan belum dapat diatasi sampai dengan dioperasikannya SMF, dikhawatirkan perbankan tidak dapat memanfaatkan secara maksimal kehadiran SMF. Padahal dengan adanya SMF diharapkan bank dapat terus memproduksi KPR.
Bagi masyarakat dengan keterbatasan bank meningkatkan kapasitas produk KPR akan membuat akses mendapatkan KPR dengan biaya murah serta terjangkau semakin sulit. Kondisi demikian juga akan menyulitkan pemerintah untuk memenuhi target membangun rumah bagi masyarakat, kata Sasmaya.
Di negara maju seperti Amerika Serikat sektor perumahan memberikan kontribusi besar bagi ekonominya mencapai 8 persen terhadap PDB, sementara di Indonesia peran tersebut masih 1,4% saja. Sementara di negara maju sekalipun jarang membeli rumah secara tunai, sehingga peran perbankan memang sangat diandalkan dalam pertumbuhan perumahan. (*/bun)
Catatan: wawancara ini dilakukan ketika saya menjadi pembicara di sebuah seminar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar