Ditulis oleh Bisnis Indonesia - Sasmaya Tuhuleley (Praktisi dan Pengamat Perbankan)
Tuesday, 27 July 2004
Pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) putaran pertama baru saja berakhir. Sebentar lagi kita akan memasuki pilpres putaran kedua, dengan dua pasang capres dan cawapres yang akan tersisa. Walaupun perhitungan suara oleh KPU dalam pilpres putaran pertama masih berlangsung, tapi kita sudah bisa menebak pasangan mana yang akan masuk dalam pilpres putaran kedua.
Pada kampanye pilpres putaran kedua nanti, program-program ekonomi yang diusung diperkirakan masih akan sama dengan kampanye putaran pertama, yaitu menyangkut upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah (UKM) mengikuti mainstream yang ada di masyarakat.
Di negara dengan sistem ekonomi modern seperti Indonesia, perbankan boleh dibilang merupakan mesin yang diandalkan menjadi penggerak roda perekonomian. Karena itu siapapun pasangan capres dan cawapres yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden nanti, tentunya sangat mengharapkan peran maksimal dari perbankan untuk menjalankan agenda ekonomi mereka.
Permasalahannya, sampai saat ini perbankan sendiri masih bergulat mengatasi persoalan-persoalan internal yang belum kunjung selesai setelah baru saja keluar dari krisis. Belum lagi pengalaman traumatik dililit kredit macet di masa lalu, yang membuat perbankan sangat berhati-hati, kalau tidak bisa dibilang takut untuk menyalurkan kredit.
Saat ini memang telah terlihat geliat penyaluran kredit oleh perbankan, ditandai dengan mulai meningkatnya loan to deposit ratio (LDR) bank-bank. Namun kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya kredit yang disalurkan perbankan sebagian besar merupakan kredit konsumtif.
Besarnya porsi pinjaman yang diberikan perbankan kepada sektor konsumsi, bukan kepada sektor produksi, membuktikan bahwa perbankan masih memiliki keraguan terhadap performa dunia usaha. Oleh karena itu, agar perbankan mau kembali melirik dunia usaha, maka terlebih dahulu dunia usaha harus mampu memperbaiki performanya.
Hal ini tidak mudah, karena kondisi Indonesia saat ini masih belum cukup kondusif, terutama karena masih kurangnya stabilitas keamanan dalam negeri, adanya ketidakpastian hukum, serta maraknya praktik korupsi yang membuat reputasi Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia semakin kondang.
Khusus mengenai UKM, permasalahannya tidak hanya terbatas kepada kondisi lingkungan usaha yang kurang kondusif saja, tapi juga sejumlah kelemahan struktural, seperti kurangnya profesionalisme, permodalan, dan posisi tawar untuk memperoleh akses perbankan perlu mendapatkan penanganan tersendiri.
Solusi melalui UKM
Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk saat ini mencapai sekitar 215 juta jiwa. Akibat krisis, jumlah penduduk Indonesia yang menganggur meningkat cukup tajam. Menurut data Bapenas, setelah mengalami krisis selama lima tahun, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia telah membengkak dari sekitar 4,3 juta jiwa pada 1996 menjadi 9,13 juta jiwa pada 2002 dan kembali meningkat menjadi 10,3 juta jiwa pada 2003.
Pada 2004 ini jumlah pengangguran terbuka di Indonesia kembali meningkat menjadi 10,83 juta jiwa. Angka pengangguran tersebut akan semakin spektakuler, jika kita memasukkan pengangguran tersembunyi (disguise unemployment) yang pada 2004 berjumlah sekitar 31.9 juta.
Menurut hitung-hitungan ekonomi, pemerintah harus memacu pertumbuhan di atas 7% per tahun, agar dalam kurun waktu 4-5 tahun mendatang masalah pengangguran tersebut dapat terpecahkan. Padahal, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi seperti sebelum krisis, yaitu rata-rata di atas 7% per tahun bukan merupakan hal mudah.
Menurut Mohamad S. Hidayat, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dari angka sekitar 4% saat ini menjadi 6,5% - 7% dalam empat tahun mendatang dibutuhkan investasi sekitar Rp400 triliun, dimana Rp300 triliun di antaranya merupakan investasi swasta.
Angka Rp300 triliun investasi swasta tersebut tentunya bukan jumlah yang kecil, mengingat investasi asing atau foreign direct investment (FDI) yang diharapkan dapat mengisi kekurangan modal dalam negeri akhir-akhir ini malah menjauh dari Indonesia.
Melihat kenyataan seperti itu, solusi pemecahan masalah pengangguran melalui pemberdayaan UKM menjadi pilihan yang menarik, walaupun kenyataannya lebih mudah mengatakan hal itu dari pada melaksanakannya. Kondisi lingkungan usaha yang kurang mendukung ditambah dengan kelemahan-kelemahan struktural yang melingkupi UKM membuat pemberdayaan UKM menjadi sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan.
Namun demikian, jika semua pihak, baik itu pemerintah yang akan berkuasa nanti, perbankan, maupun pelaku UKM sendiri memiliki komitmen kuat dan mau bekerja keras, maka tidak mustahil pemberdayaan UKM tidak lagi sekedar slogan atau janji-janji kampanye capres dan cawapres untuk menarik hari rakyat semata, tapi bisa diwujudkan menjadi kenyataan.
Peran perbankan
Perbankan dapat lebih berperan dalam memberdayakan UKM jika mau mengubah pendekatan, yaitu dengan meninggalkan sama sekali cara-cara konvensional dalam mendekati UKM. Misalnya, penerapan persyaratan bank teknis kepada UKM, seperti pendekatan 5C dalam penilaian kelayakan kredit, yaitu character, capital, capacity, condition of economy, dan collateral dirasakan sangat tidak relevan.
Pengalaman penulis yang kebetulan bekerja di bank yang baru mencoba terjun membiayai UKM menunjukkan, betapa sulit mencari UKM yang mampu memenuhi persyaratan teknis seperti itu. Ujung-ujungnya, walaupun telah tersedia anggaran yang cukup besar dari kantor pusat untuk membiayai UKM, pelaksanaannya boleh dibilang nihil.
Masih ada lagi persyaratan yang harus dipenuhi perbankan jika ingin berpartisipasi secara maksimal dalam pemberdayaan UKM. Apa saja persyaratan tersebut?
Pertama, perbankan jangan melihat pembiayaan UKM semata-mata sebagai proyek politis untuk menyenangkan pemerintah. Pembiayaan UKM harus dilihat dalam konteks bisnis, sehingga pendekatan yang diambil juga adalah pendekatan bisnis (business like).
Kedua, jika perbankan telah mempunyai komitmen untuk membiayai UKM, hal ini tidak boleh dilakukan secara setengah-setengah. Artinya, perbankan harus benar-benar menyiapkan dukungan infrastruktur untuk itu, seperti dukungan organisasi, teknologi informasi, maupun sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
Ketiga, untuk mengatasi permasalahan kurangnya profesionalisme di kalangan pelaku UKM, perbankan tidak boleh hanya bertindak sebagai bankir tapi lebih jauh lagi sebagai penasehat (advisor), yaitu mampu memberi bimbingan kepada para pelaku UKM. Misalnya, memberikan bimbingan dalam hal penataan manajemen produksi, pemasaran, administrasi, maupun pencatatan keuangan (akuntansi).
Keempat, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, perbankan harus meninggalkan pendekatan agunan untuk menilai kelayakan kredit UKM yang selama ini masih berlaku di kalangan perbankan, walaupun secara teori sering diajarkan, bahwa agunan bukan merupakan syarat utama memperoleh kredit, tapi kelayakan usaha.
Catatan: Artikel ini diposting di Situs Resmi Departemen Koperasi pada hari ulang tahun koperasi tahun 2004, sebelumnya dimuat di Harian Bisnis Indonesia
Minggu, 04 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar